
Dalam Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia dijelaskan beberapa pertimbangan. Pertama, bahwa bagi mayoritas umat Islam Indonesia, pengertian wakaf yang umum diketahui, antara lain adalah yakni menahan harta yang dapat dimanfaatkan tanpa lenyap bendanya dengan cara tidak melakukan tindakan hukum terhadap benda tersebut, disalurkan pada sesuatu yang mubah (tidak haram) yang ada,” (al-Ramli, Nihayah al-Muhroj ila Syarh al-Minhaj, [Beirut: Dar al-Fikr, 1984], juz V, h. 357, Al Khatib al-Syarbaini, Mughni al-Muhraj, Beirut [Beirut: Dar al-Fikr, t.th],juz II, h.376).
“Wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau kelompok orang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari benda miliknya guna kepentingan ibadat atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam” dan “benda wakaf adalah segala benda, baik bergerak atau tidak bergerak yang memiliki daya tahan yang tidak hanya sekali pakai dan bernilai menurut ajaran Islam” (kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Bukuk III, Bab I, Pasal 215, (1) dan (4), sehingga atas dasar pengertian tersebut, bagi mereka bukan wakaf uang ( waqf al-nuqud, cash wakaf) adalah tidak sah.
Kedua, bahwa wakaf uang memiliki fleksibilitas (keluwesan) dan kemaslahatan besar yang tidak dimiliki oleh benda lain. Ketiga, bahwa oleh karena itu, Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia memandang perlu menerapkan fatwa tentang hukum wakaf uang untuk dijadikan pedoman oleh masyarakat.
Dasar dalilnya di antaranya. Pertama, Firman Allah Swt.: “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menfkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya” (QS. Ali Imran [6] : 92).
Kedua. Firman Allah Swt.: “Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir; pada tiap-tiap bulir: seratus biji. Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (kurnia-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. AL Baqarah [2]: 261).
Orang orang menafkahkan hartanya di jalan Allah kemudian mereka tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya itu dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tiada menyakiti (perasaan penerima), mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS. AL Baqarah [2]: 262).
Adapun dalil Hadits Nabi Saw. Pertama, Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulullah SAW bersabda, ”Apabila manusia meninggal dunia, terputuslah (pahala) amal perbuatannya kecuali dari tiga hal yaitu kecuali dari sedekah jariyah (wakaf), ilmu yang dimanfaatkan, atau anak shaleh yang mendo’akannya.” (H.R. Muslim, al-Tirmidzi, al-Nasa’i, dan Abu Daud).”Diriwayatkan dari Ibnu Umar ra bahwa Umar bin al-Khaththab ra memperoleh tanah (kebun) di Khaibar; lalu ia datang kepada Nabi SAW untuk meminta petunjuk mengenai tanah tersebut. Ia berkata, ” Wahai Rasulullah ! Saya memperoleh tanah di Khaibar; yang belum pernah saya peroleh harta yang lebih baik bagiku melebihi tanah tersebut; apa perintah engkau (kepadaku) mengenainya ?” Nabi Saw. menjawab : “Jika mau, kamu tahan pokoknya dan kamu sedekahkan (hasil)-nya.”
Ibnu Umar berkata, “Maka, Umar menyedekahkan tanah tersebut, (dengan mensyaratkan) bahwa tanah itu tidak dijual, tidak dihibahkan, dan tidak diwariskan. Ia menyedekahkan (hasil)-nya kepada fuqara, kerabat, riqab (hamba sahaya, orang tertindas), sabilillah, ibnu sabil, dan tamu. Tidak berdosa atas orang yang mengelolanya untuk memakan dari (hasil) tanah itu secara ma’ruf (wajar) dan memberi makan (kepada orang lain) tanpa menjadikannya sebagai harta hak milik.” Rawi berkata, “Saya menceritakan hadits tersebut kepada Ibnu Sirin, lalu berkata ‘ghaira muta’tsilin makan (tanpa menyimpannya sebagai harta hak milik).” (H.R. al-Bukhari, Muslim, al-Tirmidzi, dan al-Nasa’i).
Diriwayatkan dari Ibnu Umar ra ; ia berkata, Umar ra berkata kepada Nabi Saw., “Saya mempunyai seratus saham (tanah, kebun) di Khaibar, belum pernah saya mendapatkan harta yang lebih saya kagumi melebihi tanah itu; saya bermaksud menyedekahkannya.” Nabi SAW berkata, “Tahanlah pokoknya dan sedekahkan buahnya pada sabilillah.” (H.R. al-Nasa’i).
Selain itu, Jabir ra berkata: “Tak ada seorang sahabat Rasul pun yang memiliki kemampuan kecuali berwakaf.” (lihat Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa adillatuhu, [Damsyik: Dar al-Fikr, 1985], juz VIII, h.157; al-Khatib al-Syarbaini, Mughni al-Muhtaj, [Be irut: Dar al-Fikr, t.th] , juz II, h. 376).
Memperhatikan